Siluet remang itu lagi,
terkias hitam dan bergerak kasar
Aku menantinya, menunggu
untuk melihat dalam bisu, untuk menyibak rahasia dan kebungkaman yang kian
menyiksa
Kenapa aura mengundang
kecemasan masih terasa dari jarak yang berkisar kesekian
Cemas ataukah ada yang
ditakuti, wahai bayang hitam tak bisakah sejenak kau jawab pertanyaaan ?
Kala malam itu akhirnya tlah
ku jumpai jawab dari suara serak bayangan, itu aku, wajah dan tubuh menggelap
Begitu menyedihkan
Ia menuntut, kenapa kau
gadaikan semua dulu ? ia berteriak nyaris membuat telinga tuli karena pekak
Ku kernyitkan dahi tanda tak
mengerti
Dimana kau
letakkan iman itu ? disudut belakang hati yang jarang kau tengok dan peduli ?
atau malah tlah kau gergaji dan pasung dengan simpul mati ?
Kau tak peduli, ya seperti
dulu saat aku berteriak meronta pertolongan atas segala kelalaian yang tengah
kau peragakan, atas tiap inchi yang tak terhijabi, tiap ruas yang ku minta kau
selimuti, kau malas malah pulas.
Pulas dalam kubangan jerat
setan yang setia membisik.
Kau lupakan imanmu. Kau
gadaikan cinta Illahimu.
Aku malu, diantara berjajar
rapi jiwa-jiwa itu hanya aku yang bermuram, gelap nyaris tak ada, tak terihat.
Aku malu tak terhijabi, tak terjaga, tak mampu dibeda apakah islam, majusi atau
nasrani.
Andai sekali saja coba kau
tengok aku yang terengah kelelahan menjerit agar kau dengar. Aku mau mengikuti
jalan Rabb ku, jangan kau halangi, jangan lagi kau cari-cari alasan manis
berbingkai peluk setan dengan sangat romantis.
Coba sekali saja kau ajakku
berbincang mesra, dan tanya “apa mau mu, hatiku ?”
-Marlia Alvionita-
0 komentar:
Posting Komentar